HEBOH MISTERI PERANG SAMPIT ( DAYAK MADURA DAN DAYAK KALIMANTAN TAHUN 2001 ) !!!!!!! BERIKUT ALASANNYA,,,





Peristiwa Sampit ini menjadi suatu kota yang digambarkan sangat menakutkan karena pertikaian etnis. Warga Dayak yaitu orang-orang tradisional yang memegang teguh harkat serta harga diri. Mulai sejak “peradaban” masuk kedalam kehidupan mereka, budaya “kekerasan”yang dulu secara turun-temurun mulai ditinggalkan. Gambaran kasar perihal orang dayak pada umumnya, Orang Dayak yaitu orang-orang tradisional serta memiliki karakter pemalu pada pendatang. Tetapi, warga Dayak memiliki system kekerabatan serta persatuan yang kuat antar orang-orang Dayak di semua pulau Kalimantan (termasuk juga Dayak di lokasi Malaysia).

Banyak sebab yang bikin mereka seolah melupakan asazi manusia, baik sebab langsung maupun tak langsung. Warga Dayak di Sampit seperti senantiasa “terdesak” serta senantiasa mengalah serta memang mereka lebih sukai pilih mengalah. Dari masalah larangan menambang intan diatas “tanah adat” mereka sendiri karena dituduh tak mempunyai izin penambangan, hingga kampung mereka harus beberapa kali berpindah lantaran harus mengalah dari beberapa penebang kayu yang selalu menekan mereka semakin kedalam rimba. Sayangnya, keadaan ini diperburuk lagi oleh ketidakadilan hukum yang seolah tak dapat menjerat pelanggar hukum yang menempatkan orang-orang Dayak jadi korban masalah tersebut . Banyak masalah pembunuhan orang dayak (sebagian besar dikarenakan oleh tindakan premanisme Dayak-Madura) yang merugikan orang-orang Dayak lantaran tersangka (kebetulan orang Madura) tak dapat di tangkap oleh aparat yang penegak hukum.

Dalam sehari-harinya Orang-orang Dayak, kehidupan mereka nyatanya jauh dari anggapan kita yang menduga kalau mereka itu beringas. Mereka nyatanya begitu pemalu, menerima beberapa pendatang, serta tetaplah melindungi keutuhan orang-orangnya baik religi serta ritual mereka. Mereka tak pernah mengganggu beberapa penebang kayu yang menekan mereka untuk selalu mengalah. Mereka tak pernah menentang anggota orang-orangnya yang ingin masuk agama yang dibawa oleh orang-orang pendatang.

Mereka dengan ringan-tangan menolong penduduk sekitarnya. Mereka tak pernah membawa mandau, sumpit, maupun panah kedalam kota Sampit untuk “petantang-petenteng”. Etnis madura yang juga miliki latar belakang budaya “kekerasan” nyatanya menurut orang-orang Dayak dikira tak dapat untuk menyesuaikan (mengingat mereka sebagai”pendatang”). Kerap berlangsung masalah pelanggaran “tanah larangan” orang Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh orang Madura. Perihal ini pula sebagai satu diantara penyebab “perang antar etnis Dayak-Madura”.

Dayak di kenal berilmu tinggi sampai dapat membedakan suku Madura dengan suku-suku yang lain, yang pasti suku-suku yang lain luput dari “serangan beringas” orang Dayak. Banyak yang mengaitkan beberapa momen aneh sepanjang “perang” itu dengan keyakinan animisme Dayak (Kaharingan). Banyak bukanlah saja orang-orang dayak Sampit yang ada disana, namun ada juga 5 suku besar Dayak yang lain dari sebagian provinsi di pulau Kalimantan. Pikirkan, orang-orang Dayak yang terlebih dulu bukanlah orang-orang sebagian besar disana, waktu berlangsung “perang” jumlah mereka berlipat-lipat.

Pengungsian besar-besaran orang-orang suku lain (terkecuali Dayak serta Madura) cuma karena rasa ngeri lihat “perang” serta lumpuhnya perekonomian Sampit. (Dayak) tak menyerang orang (madura) yang pernah bersembunyi didalam Masjid atau Gereja. walau pada dasarnya suku Madura seperti begitu terasa berkuasa disana.. serta pernah menginginkan ganti nama jadi Sampang 2 (satu diantara kota besar di Madura)

Seseorang pemuda bersenjata mandau duduk tepekur di trotoar jalan, di Depan Hotel Putra Sampit, Kotawaringain Timur, Kalimantan Tengah (Kalimantan tengah). Mandau di tangannya masihlah meneteskan darah. Matanya terlihat berkaca-kaca, serta sesekali ia sesenggukan. Ahmad, pemuda beretnis

Banjar yang kebetulan tempat tinggalnya dekat dengan trotoar jalan itu, membulatkan tekad menghampiri. Ahmad ajukan pertanyaan dalam bhs Melayu, nyatanya pemuda yang tengah menangis itu tak tahu. Ia tidak lain yaitu warga Dayak pedalaman. Lantas, terjadi dialog dalam bhs daerah. “Kenapa Anda menangis, ” bertanya Ahmad. “Bagaimana tak, saya sudah lakukan pembunuhan, ” jawab pemuda Dayak itu. Pemuda Dayak itu lalu nyerocos, bila mengingat pembunuhan yang dikerjakannya, ia terasa kasihan pada warga Madura.

Namun bila mengingat tingkah laku etnis asal pulau garam itu, akunya, rasa kasihannya jadi hilang. Pemuda itu hanya satu diantara beberapa ratus pemuda Dayak yang lakukan penyerangan ke Sampit. Menurut budayawan Dayak Kalimantan tengah, Gimong Awan, memanglah banyak diantara warga Dayak yang mengikuti’peperangan’ itu yaitu pemuda berumur dibawah 30 th.. Penyesalan sesudah membunuh itu nampak, sangka Gimong, lantaran sudah habisnya dampak ‘isian’ yang dikerjakan oleh orang sakti Suku Dayak

Seperti disaksikan banyaknya warga Sampit, sebelumnya melakukanpenyerangan, sebagian subsuku Dayak memanglah malakukan ritual. WargaDayak yang turut ritual itu sesudah di isi, kulitnya dicoba disayat satu per satu. Jika ada yang luka, bermakna ia tak memiliki bakat untuk memperoleh ‘kekebalan’. Untuk yang digores tidak berdarah, jadi ia lulus sebagai inti dari pasukan perang Dayak. ”Isian itu dikerjakan seperti di Pencak Silat sejenis Satria Nusantara, ” katanya. Selepas ‘isian’ habis, imbuhnya, mungkin saja mereka baru mengerti kalau pembunuhan yang dikerjakannya itu dilarang oleh agama yang mereka anut.

Namun, apa yang bikin suku Dayak di Kalimantan tengah demikian kalap dalam hadapi warga Madura? Nyaris semuanya warga serta tokoh Dayak yang didapati Republika menunjuk tingkah laku umumnya etnis Madura sebagai pemicunya. H Charles Badarudin, seseorang tokoh Dayak di Palangkaraya bercerita tingkah laku warga Madura banyak yg tidak mencerminkan peribahasa “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Ia mencontohkan satu diantaranya dalam hal tanah.

Banyak warga Madura yang baru datang ke Kalimantan tengah meminjam tanah pada warga Dayak. Diatas tanah itu lalu di bangun tempat tinggal, atau terkadang ditanami sayur mayur. Status tanah itu sesungguhnya tetaplah utang, warga Dayak tidak menarik sewa. Sesudah satu tahun lebih, tanah itu juga disuruh lantaran satu kepentingan. Namun, bukanlah tanah yang dikembalikan, tetapi celurit yang malah di keluarkan. “Ketika diperlihatkan surat kepemilikan tanah, orang Madura katakan, anda miliki suratnya, saya miliki tanahnya, ” tutur Charles, yang mengakui kemenakan pahlawan Kalimantan tengah, Tjilik Riwut. Masalah seperti itu dinilai warga Dayak terus-menerus berlangsung.



Bukan hanya itu,sering terjadi pembunuhan yang dilakukan warga Madura, tetapi aparat cuma menangkap sebentar lalu melepasnya. ‘Kenakalan’semacam itu bukan sekedar terjadi di perkotaan. Sebagai pendatang, warga Madura juga berani masuk ke daerah pedalaman, seperti lokasi pertambangan. “Ada untungnya orang Madura mengungsi. Saya jadi aman dari perampokan, ” papar Surti, pendatang dari Jawa yang tinggal didaerah pertambangan bersama suaminya. Di bagian ekonomi, warga Madura juga kuasai nyaris semuanya bidang. Warga lokal nyaris senantiasa kalah berkompetisi dalam memperebutkan tempat usaha. Di pelabuhan semisal, susah untuk etnis lain untuk jadi buruh kasar meskipun, tanpa ada restu orang Madura.

Konon, yang masuk kelahan mereka tanpa ada restu, dapat dibunuh. Dominasi di bagian ekonomi itu terlihat jelas, lantaran sesudah orang Madura dipaksa mengungsi, warga Sampit serta Palangkaraya kesusahan mencari sembilan keperluan pokok (sembako). Pasalnya, tidak ada lagi pedagang eceran, lantaran semua mengungsi. Akumulasi persoalan itu jadikan warga Dayak sakit hati. Peristiwa, 18 Februari 2001 hanya penyebab terjadinya perang besar-besaran. Pada hari itu berlangsung pembunuhan pada empat orang keluarga Matayo di Sampit. Itu bikin geram warga Madura. Mereka mencari pembunuhnya yang disangka bersembunyi dirumah Timil, seseorang warga Dayak. Mereka mengepung tempat tinggal keluarga Timil itu. Dalam kondisi panas itu, terlebih warga Dayak dari tempat tinggal Timil keluar juga memegang mandau, aparat kepolisian datang. Mereka lalu menangkap 38 tersangka dari suku Dayak yang disangka lakukan pembunuhan pada keluarga Matayo. Senang? Nyatanya belum.

Warga Madura tetaplah melampiaskan kemarahannya. Mereka mendatangi tempat tinggal Sengan, warga Dayak yang masih ada hubungan darah dengan Timil. Mereka bahkan juga membakar tempat tinggal itu. Naas buat Timil. Dia berbarengan anak serta cucunya tewas terpanggang. Kemarahan warga Madura belum berhenti. Hari itu, mereka sedikitnya lakukan pembakaran pada 14 tempat tinggal serta 10 kendaraan bermotor. Sampai besok harinya (19/02), warga Madura kuasai kota Sampit. Mereka memburu warga Dayak. Mereka keliling kota dengan membawa clurit, baik dengan jalan kaki ataupun menggunakan kendaraan bermotor. Terdapat banyak spanduk yang dipasang, salah satunya “Sampit, kota Sampang II”. Tiga orang Dayak tewas dalam insiden ini. Pengungsian warga Dayak, Jawa, Banjar, serta Tionghoa mulai berlangsung. Tempat tinggal jabatan bupati Kotawaringin Timur mulai dipadati pengungsi. Beberapa ribu orang mengungsi ke Jawa dengan KM Binaiya. Tak tahu siapa yang mengontak, mulai 20 Februari 2001, warga Dayak dari luar kota Sampit, termasuk juga dari pedalaman, menyerbu Sampit.

Pertempuran sengit juga berlangsung. Warga Madura keteter. Warga Dayak membakar serta menyebabkan kerusakan tempat tinggal warga Madura. Penghuninya juga diburu. Pemenggalan kepala mulai banyak berlangsung. Warga Dayak ubah kuasai kota. Esoknya (21/2), perburuan Dayak masihlah berlangsung. Jadi lokasi pencarian semakin meluas, keluar dari kota Sampit. Sesaat perlawanan warga keturunan Madura semakin melemah. Mereka lebih pilih mengungsi, atau lari ke rimba. Kantor Pemda setempat jadi pilihan pengungsian yang dilihat paling aman. Hari-hari selanjutnya, langkah ‘pembersihan’masih berlangsung. Baru pada Rabu (28/2) kondisi berangsur tenang, walau tetap harus ada tindakan pembakaran disana sini. Juga, jejak kerusuhan berbentuk mayat –sebagian besar tanpa ada kepala– masihlah berantakan disungai-sungai. Bau anyir mayat menyengat hidung.

Warga Sampit yakini korban tewas tanpa ada kepala meraih kian lebih 1. 000 orang. Dalam budaya Dayak memanglah di kenal arti ngayau, eksekusi dengan memenggal kepala lawan. “Budaya itu sesungguhnya sudah dihentikan karenanya ada kesepakatan Rubuh Anoy (letaknya kurang lebih 300 KM timur Palangkaraya) pada 1884, ” ungkap Gimong. Dalam histori Dayak juga, kata dia, tidak sering sekali ada ngayau yang meraih angka beberapa ratus atau bahkan juga beberapa ribu. Namun, tutur Gimong, pernah ada satu ngayau besar-besaran sebelumnya peradaban Islam menyentuh Kalimantan. “Kejadian itu dimaksud Asang Paking Pakang, ” katanya. Dalam peristiwa itu, warga Dayak di hulu sungai-sungai besar menyerang dengan cara besar-besaran warga Dayak di hilir sungai. “Beribu-ribu pasukan Dayak hulu, seperti tikus, lakukan penyerangan, ” cerita Gimong. ”Dayak hulu terasa tingkah laku Dayak hilir telah keterlaluan.

Mereka sakit hati lantaran banyak anggota grup mereka yang dikayau. ”Dalam penyerangan itu, tidak perduli anak-anak atau wanita, di- kayau. Asang memanglah bermakna pembunuhan bertaraf besar. Ketemu perahu, dihancurkan. Bisa ternak juga di sikat. Bahkan juga, bisa kuburan juga mereka bongkar serta leburkan. Lihat pola serta jumlah korban dalam tragedi paling akhir di Sampit, Gimong menilainya serupa dengan Asang Paking Pakang. “Tragedi Sampit yaitu Asang Paking Pakang jilid dua, ”katanya. Namun, dalam pandangannya, peristiwa itu yaitu kemunduran 100 th. untuk suku Dayak.

DASAR PENYEBAB PERANG

Th. 1972 di Palangka Raya, seseorang gadis Dayak digodai serta diperkosa, pada peristiwa itu diselenggarakan penyelesaian dengan mengadakan perdamaian menurut hukum kebiasaan.

Th. 1982, berlangsung pembunuhan oleh orang Madura atas seseorang suku Dayak, pelakunya tak tertangkap, pengusutan/penyelesaian dengan cara hukum tak ada.

Th. 1983, di Kecamatan Bukit Batu, Kasongan, seseorang warga Kasongan etnis Dayak di bunuh (perkelahian 1 (satu) orang Dayak dikeroyok oleh 30 (tigapuluh) orang madura). Pada pembunuhan atas warga Kasongan bernama Pulai yang beragama Kaharingan itu, oleh tokoh suku Dayak serta Madura diselenggarakan perdamaian : dikerjakan peniwahan Pulai itu dibebankan pada pelaku pembunuhan, yang lalu diselenggarakan perdamaian ditanda tangani oleh ke dua iris pihak, berisi diantaranya menyebutkan jika orang Madura mengulangi perbuatan jahatnya, mereka siap untuk keluar dari Kalimantan tengah.

Th. 1996, di Palangka Raya, seseorang gadis Dayak diperkosa di gedung bioskop Panala serta di bunuh dengan kejam (sadis) oleh orang Madura, nyatanya hukumannya begitu enteng.

Th. 1997, di Desa Karang Langit, Barito Selatan orang Dayak dikeroyok oleh orang Madura dengan perbandingan kemampuan 2 : 40 orang, dengan score orang Madura mati semuanya, aksi hukum pada orang

Dayak : dihukum berat. Orang Dayak itu terserang serta menjaga diri memakai pengetahuan bela diri? di mana penyerang sukses ditaklukkan semua.

Th. 1997, di Rubuh Samba, ibukota Kecamatan Katingan Tengah, seseorang anak lelaki bernama Waldi mati terbunuh oleh seseorang suku Madura yang? tukang jualan sate?. Si belia Dayak mati dengan cara mengenaskan, ditubuhnya ada kian lebih 30 (tigapuluh) sisa tusukan. Anak muda itu tidak paham menahu .

sumber ;24hnewsindo.com

Artikel streamfullmovieshd Lainnya :

2 komentar:

Scroll to top